Malnutrisi – Gizi Buruk
Salah satu gangguan gizi yang harus diwaspadai dalam masa tumbuh kembang anak , adalah Malnutrisi dan Gizi buruk yang menurut Riskesdas 2010 jumhanya 5,4% dan gizi kurang 17,9 % dengan stunting atau pendek 36% dari Balita yang dipantau. Apabila di Indonesia ada 27 juta Balita dari 237 juta(2010) dan sekarang 242 juta penduduk maka dapat diperkirakan ada seperempat yang mengalami malnutrisi, baikl gizi bruk maupun gizi kurang atau sekitar 5-6 juta Balita. Padahal saat Balita ini adalah periode keeemasan (Golden periode) dan jendela kesempatan (Window opportunity )dimana otak sedang berkembang pesat dan memerlukan nutria. Bila terjadi malnutrisi maka dipastikan mereka akan jatuh kedalam gizi kurang, gizi buruk dan pendek(Stunting) sehingga menjadi generasi yang tidak berkualitas (lost generation) YANG OLEH Butet kertajaya dalam kompas beberapa bulan lalu disebut generasi goblok permanen.
WHO mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan seluler antara suplai nutrien dan energi dengan kebutuhan untuk pertumbuhan, maintenance dan fungsi spesifik. Malnutrisi Energi Protein (MEP) pertama kali digambarkan pada tahun 1920, banyak dijumpai di negara sedang berkembang, di samping itu jugIa banyak didapatkan pada penderita rawat inap dan kasus penyakit kronis di Amerika.1 Menurut WHO 49% dari 10,4 juta kematian pada anak-anak usia di bawah 5 tahun di negara yang sedang berkembang berhubungan dengan MEP. Meskipun MEP lebih sering terjadi di negara dengan income yang rendah, keadaan ini juga dijumpai di negara dengan income yang lebih tinggi, di daerah urban dan sosek rendah, dan anak dengan penyakit kronis.2
Krisis ekonomi dan multi dimensi yang melanda Indonesia telah menyebabkan berbagai masalah, khususnya pada Malnutrisi Energi Protein, morbiditas, dan mortalitas serta intelegensia anak balita. Kejadian ini akan berdampak panjang dengan kemungkinan munculnya Loss Generation dan menurunnya daya saing bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia pada masa yang akan datang. Kurang Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan rentan terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. 3
Penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah usia lima tahun dan kebanyakan terdapat di negara yang sedang berkembang. Pada KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang sangat ringan sampai berat. Pada keadaan yang sangat ringan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya terdapat pertumbuhan yang kurang sedangkan kelainan biokimiawi maupun gejala klinisnya tidak ditemukan. Pada keadaan berat ditemukan dua tipe yaitu tipe kwashiorkor dan tipe marasmus, masing-masing dengan gejala-gejalanya yang khas, dengan kwashiorkor – marasmik di tengah-tengahnya. 4
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (Iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan.3
Malnutrisi Energi Protein di Indonesia masih merupakan salah satu masalah gizi. Meskipun prevalensi MEP menurun tajam pada dekade sebelum krisis ekonomi tahun 1997/1998, persentase MEP pada anak-anak di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Menurut analisa data Susenas tahun 1999 didapatkan 1,7 juta anak menderita malnutrisi berat (< – 3SD) dan 170.000 didapatkan marasmus dan atau kwashiorkor. Anak-anak dengan berat badan rendah lebih banyak terdapat di daerah rural daripada urban, dan lebih banyak dialami oleh anak laki-laki.5 WHO memperkirakan hampir 150 juta anak di bawah usia 5 tahun (26,7%) di negara sedang berkembang menderita malnutrisi. Sebagai tambahan 200 juta anak mengalami perawakan pendek akibat keadaan malnutrisi tersebut.
Mortalitas MEP berat dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebesar 55%, 35% di antara mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya. Di Rumah Sakit Malawi didapatkan angka kematian anak-anak dengan kwashiorkor rata-rata 30,5% pada tahun 1995.6 Pada umumnya penderita MEP berat juga menderita infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatitis angularis, dan lain-lain. Itulah sebabnya mengapa angka kematian penderita MEP berat cukup tinggi. Dengan adanya infeksi keadaan gizi akan semakin memburuk sehingga daya tahan tubuh akan menurun dan perjalanan penyakit infeksi semakin berat. 4
Bukti klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau iritabilitas. Bila tetap berlanjut, akan mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi, dan edema. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu manifestasi yang paling serius dan konstan. Hepar yang membesar dapat terjadi awal atau lambat. Edema biasanya terjadi awal, penurunan berat badan dapat tertutup oleh adanya edema. 7,8
DAMPAK MEP
Dampak jangka panjang MEP dapat terjadi apabila pengelolaan yang diberikan kurang memadai atau anak sudah jatuh ke dalam MEP berat. Terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat ekstensif, terjadi retardasi mental dan fisik yang menetap. Dampak jangka panjang ini dipengaruhi juga oleh perubahan-perubahan organ yang sifatnya permanen yang terjadi pada saat anak menderita MEP seperti pada jantung, pankreas, hati, dan gangguan endokrin yang mempengaruhi prognosis anak tersebut.
Dampak jangka panjang MEP sangat penting untuk diketahui karena MEP yang diderita pada usia muda mempengaruhi sistem saraf pusat, terutama kecerdasan mereka. Jika pertumbuhan dan perkembangan secara luas terganggu, retardasi mental dan fisik dapat permanen. Makin muda bayi pada saat kekurangan, makin rusak pengaruh jangka lamanya. Defisit dalam kemampuan pengertian dan abstrak terutama berakhir lama. 8Penyelidikan dalam bidang pertumbuhan dan fungsi otak pada penderita yang sembuh dari penyakit MEP banyak dilakukan. Winick dan Rosso (1975) berpendapat bahwa MEP yang diderita pada masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan akibat jumlah sel otak akan berkurang meskipun besarnya otak normal. Lotfy OA dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat gangguan fungsi sel monosit dan limfosit pada penderita MEP. Gangguan fungsi ini mungkin berperan pada adanya defisit respon imun spesifik sehingga merupakan faktor predisposisi terpaparnya infeksi pada penderita MEP. 11
Penelitian yang dilakukan oleh Pollin dkk (1997) membuktikan bahwa suplementasi kalori dan perbaikan gizi yang dialami anak-anak pada usia di bawah 18 bulan akan memberikan performans yang lebih baik dalam hal memori dibanding usia > 18 bulan.14 Sedangkan penelitian oleh Mendez dkk (1999) menunjukkan bahwa stunting yang berat saat usia 2 tahun berhubungan dengan defisit kemampuan kognitif. Defisit yang dialami anak-anak dalam penelitian tersebut pada usia 11 tahun lebih baik dibanding usia 8 tahun, hal ini menunjukkan bahwa efek lain dapat berpengaruh sejalan dengan waktu.15
DAFTAR PUSTAKA
WHO mendefinisikan malnutrisi sebagai ketidakseimbangan seluler antara suplai nutrien dan energi dengan kebutuhan untuk pertumbuhan, maintenance dan fungsi spesifik. Malnutrisi Energi Protein (MEP) pertama kali digambarkan pada tahun 1920, banyak dijumpai di negara sedang berkembang, di samping itu jugIa banyak didapatkan pada penderita rawat inap dan kasus penyakit kronis di Amerika.1 Menurut WHO 49% dari 10,4 juta kematian pada anak-anak usia di bawah 5 tahun di negara yang sedang berkembang berhubungan dengan MEP. Meskipun MEP lebih sering terjadi di negara dengan income yang rendah, keadaan ini juga dijumpai di negara dengan income yang lebih tinggi, di daerah urban dan sosek rendah, dan anak dengan penyakit kronis.2
Krisis ekonomi dan multi dimensi yang melanda Indonesia telah menyebabkan berbagai masalah, khususnya pada Malnutrisi Energi Protein, morbiditas, dan mortalitas serta intelegensia anak balita. Kejadian ini akan berdampak panjang dengan kemungkinan munculnya Loss Generation dan menurunnya daya saing bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia pada masa yang akan datang. Kurang Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makan sumber energi secara umum dan kekurangan sumber protein. Pada anak-anak, KEP dapat menghambat pertumbuhan, menyebabkan rentan terhadap penyakit, terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan. 3
Penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah usia lima tahun dan kebanyakan terdapat di negara yang sedang berkembang. Pada KEP ditemukan berbagai macam keadaan patologis disebabkan oleh kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang sangat ringan sampai berat. Pada keadaan yang sangat ringan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya terdapat pertumbuhan yang kurang sedangkan kelainan biokimiawi maupun gejala klinisnya tidak ditemukan. Pada keadaan berat ditemukan dua tipe yaitu tipe kwashiorkor dan tipe marasmus, masing-masing dengan gejala-gejalanya yang khas, dengan kwashiorkor – marasmik di tengah-tengahnya. 4
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (Iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan.3
Malnutrisi Energi Protein di Indonesia masih merupakan salah satu masalah gizi. Meskipun prevalensi MEP menurun tajam pada dekade sebelum krisis ekonomi tahun 1997/1998, persentase MEP pada anak-anak di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Menurut analisa data Susenas tahun 1999 didapatkan 1,7 juta anak menderita malnutrisi berat (< – 3SD) dan 170.000 didapatkan marasmus dan atau kwashiorkor. Anak-anak dengan berat badan rendah lebih banyak terdapat di daerah rural daripada urban, dan lebih banyak dialami oleh anak laki-laki.5 WHO memperkirakan hampir 150 juta anak di bawah usia 5 tahun (26,7%) di negara sedang berkembang menderita malnutrisi. Sebagai tambahan 200 juta anak mengalami perawakan pendek akibat keadaan malnutrisi tersebut.
Mortalitas MEP berat dilaporkan tinggi. Hasil penyelidikan yang dilakukan pada tahun 1955/1956 (Poey, 1957) menunjukkan angka kematian sebesar 55%, 35% di antara mereka meninggal dalam perawatan minggu pertama, dan 20% sesudahnya. Di Rumah Sakit Malawi didapatkan angka kematian anak-anak dengan kwashiorkor rata-rata 30,5% pada tahun 1995.6 Pada umumnya penderita MEP berat juga menderita infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatitis angularis, dan lain-lain. Itulah sebabnya mengapa angka kematian penderita MEP berat cukup tinggi. Dengan adanya infeksi keadaan gizi akan semakin memburuk sehingga daya tahan tubuh akan menurun dan perjalanan penyakit infeksi semakin berat. 4
Bukti klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau iritabilitas. Bila tetap berlanjut, akan mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi, dan edema. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu manifestasi yang paling serius dan konstan. Hepar yang membesar dapat terjadi awal atau lambat. Edema biasanya terjadi awal, penurunan berat badan dapat tertutup oleh adanya edema. 7,8
DAMPAK MEP
Dampak jangka panjang MEP dapat terjadi apabila pengelolaan yang diberikan kurang memadai atau anak sudah jatuh ke dalam MEP berat. Terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat ekstensif, terjadi retardasi mental dan fisik yang menetap. Dampak jangka panjang ini dipengaruhi juga oleh perubahan-perubahan organ yang sifatnya permanen yang terjadi pada saat anak menderita MEP seperti pada jantung, pankreas, hati, dan gangguan endokrin yang mempengaruhi prognosis anak tersebut.
Dampak jangka panjang MEP sangat penting untuk diketahui karena MEP yang diderita pada usia muda mempengaruhi sistem saraf pusat, terutama kecerdasan mereka. Jika pertumbuhan dan perkembangan secara luas terganggu, retardasi mental dan fisik dapat permanen. Makin muda bayi pada saat kekurangan, makin rusak pengaruh jangka lamanya. Defisit dalam kemampuan pengertian dan abstrak terutama berakhir lama. 8Penyelidikan dalam bidang pertumbuhan dan fungsi otak pada penderita yang sembuh dari penyakit MEP banyak dilakukan. Winick dan Rosso (1975) berpendapat bahwa MEP yang diderita pada masa dini perkembangan otak akan mengurangi sintesis protein DNA, dengan akibat jumlah sel otak akan berkurang meskipun besarnya otak normal. Lotfy OA dkk dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat gangguan fungsi sel monosit dan limfosit pada penderita MEP. Gangguan fungsi ini mungkin berperan pada adanya defisit respon imun spesifik sehingga merupakan faktor predisposisi terpaparnya infeksi pada penderita MEP. 11
Penelitian yang dilakukan oleh Pollin dkk (1997) membuktikan bahwa suplementasi kalori dan perbaikan gizi yang dialami anak-anak pada usia di bawah 18 bulan akan memberikan performans yang lebih baik dalam hal memori dibanding usia > 18 bulan.14 Sedangkan penelitian oleh Mendez dkk (1999) menunjukkan bahwa stunting yang berat saat usia 2 tahun berhubungan dengan defisit kemampuan kognitif. Defisit yang dialami anak-anak dalam penelitian tersebut pada usia 11 tahun lebih baik dibanding usia 8 tahun, hal ini menunjukkan bahwa efek lain dapat berpengaruh sejalan dengan waktu.15
DAFTAR PUSTAKA
- Grigsby DG, MD. Malnutrition. Emedicine Journal, Vol.3, Number 3, March, 2002.
- Gehri M, MD, Settler N, MD. Marasmus. Emedicine Journal, Volume 2, Number 11; November, 2001.
- Almatsier S. Prinsip dasar ilmu gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta; 2002 : 296 – 308.
- Pudjiadi S. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2000 : 95 – 139.
- Kurniawan A, Latief D. Childhood Malnutrition in Indonesia, Its Current Situation. In : Joint Symposium On Childhood Malnutrition Its Consequences and Management. Surakarta, Indonesia, 2001 : 1 – 25.
- Manary MJ, Brewster DR. Intensive Nursing Care of Kwashiorkor in Malawi. Acta Paediatr; No. 89; Feb 2000; 2 : 203 – 7.
- Golden MHN. Severe Malnutrition. In : Nutrition. 1278 – 96.
- Behrman, Kliegman, & Arvin, Nelson. Nelson Textbook of Pediatrics.ed 16th. W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania : 2000.
- Nassar SS. Malnutrisi. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Markum AH, Ismail S, Alatas H, Akip A, Firmansyah A, Sastroasmoro S. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1991 : 163 – 4.
- Doherty JF, Golden MHN, Raynes JG, Griffin E, McAdam KPWJ. Acute Phase Protein Response is Impaired in Severely Malnourished Children. 1992.
- Lotfy OA, Saleh WA, el-Barbari M. A Study of Some Changes of Cell-Mediated Immunity in Protein Energy Malnutrition. J Egypt Soc Parasitol, Vol 28 No. 2, August 1998 : 413 – 28.
- Karyadi D. Mencegah Generasi Hilang Anak Bangsa. Dalam : Seminar Mencegah Generasi Hilang melalui Makanan Pendamping ASI. IDAI cabang Jateng, 2001.
- Susanto JC. Masa Penyapihan : Masa Kritis Bagi Masa Depan Anak. Dalam : Seminar Mencegah Generasi Hilang melalui Makanan Pendamping ASI. IDAI cabang Jateng, 2001.
- Pollin E, Watkins WE, Husaini MA. Three-month nutritional supplementation in Indonesian infants and toddlers benefits memory function 8 y later. Am J Clin Nutr. Vol 66 ; 1997 : 1357 – 63.
- Mendez MA, Adair LS. Severity and timing of stunting in the first two years of life affect performance on cognitive test in late childhood. Community and International Nutrition. American Society for Nutritional Sciences.1999 : 1555 – 62.